Minggu, Oktober 30, 2011

#10: Keindahan di Balik PULSA

Sebuah Catatan Semi Curhatan: Ada Keindahan di Balik PULSA (Pengenalan Umum Lingkungan Sosiologi dan Antropologi)


Semarang, Oktober 18, 2011
Pertama dan yang utama, saya sampaikan selamat kepada HIMA Sosiologi dan Antropologi, FIS, UNNES, atas tergelarnya rangkaian acara PULSA yang diselenggarakan pada 15-16 Oktober 2011 bertempat di Hotel Garuda, Kopeng, Kabupaten Semarang. Tak lupa, saya pribadi, ataupun jika boleh mewakili para angkatan uzur, menyampaikan rasa terimakasih yang sangat besar kepada Saudaraku Fajar Sumiyarso selaku Ketua Hima Sosiologi dan Antropologi masa bakti 2011-2012, Saudaraku Christian Galih selaku Ketua Panitia PULSA, serta saudara-saudaraku Trio Bar (Akbar, Barozi dan Baryadi), selaku Koordinator pelaksana PULSA, atas undangan kepada para angkatan uzur, untuk ikut menghadiri, meramaikan, atau bahkan ngriwuhi. Terimakasih, terimakasih dan terimakasih. Ijinkan pula saya pribadi, atau sekali lagi jika boleh mewakili saudara-saudaraku angkatan uzur, menyampaikan permohonan maaf, jika saja terdapat sesuatu dari kami yang kurang enak di hati, di hati siapa saja, atau bahkan jika ada yang salah dari kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya.

Catatan ini, saya buat, lantaran keinginan berbagi kebahagian saja. Tak lebih. Kebahagiaan yang saya temukan di balik kegitan PULSA. Karena barangkali benar apa kata orang, bahwa sengsara itu tidak hanya ketika pribadi kita sedang terserang wabah, atau saat dirundung persoalan hidup, lebih dari itu, sengsara juga bisa berwujud kebahagiaan yang tersumbat mampat tak bisa dibagikan kepada kawan saudara. Begitulah kira-kira yang menggerakkan jemari saya hingga catatan ini lahir. Memang agak terlambat catatan ini baru muncul sekarang, sedang acara PULSA sendiri sudah dua mingguan yang lalu berlangsung. Tapi biarlah, keindahan bisa dinikmati kapan saja. Bukan begitu, kawan?

Baik, saya mulai. Terlepas dari yang khusus-khusus, secara umum kegiatan yang sasaran utamanya adalah mahasiswa baru Jurusan Sosiologi dan Antropologi ini berjalan lancar, dan juga sukses. Setidaknya itulah di mata saya, dan yang terpenting dalam catatan ini adalah bahwa di balik kegiatan yang dirancang oleh tangan-tangan kreatif para personil Hima Sosiologi dan Antropologi ini, melalui indera saya, nyatanya sangat kental dengan hal-hal membahagiakan. Ya, saya banyak menemukan keindahan dalam dua hari itu. Untuk meminimalisir missunderstanding, saya tekankan terlebih dahulu, bahwa keindahan di sini, adalah yang saya sendiri rasakan. Sederhananya, keindahan menurut saya. Karena bisa saja, indah bagi saya, tapi tak indah atau biasa saja bagi orang lain.

Keindahan yang saya saksikan dan saya tulis pertama kali di sini terjadi di sebuah jalan menanjak Salatiga-Getasan. Dalam perjalanan saya dan kawan-kawan menuju lokasi kegiatan, sekitar maghrib hari sabtu, kami baru menyusuri jalan berkelok di Getasan. Di jalan menanjak itu terdapat seorang pengendara vespa, kami tak kenal, kesusahan mendorong vespanya. Mungkin sekali, vespa coklatnya itu mogok. Dua orang dalam satu motor, yang merupakan bagian dari rombongan kami spontan berhenti di dekat orang yang sedang sial itu, menawarkan bantuan. Sementara rombongan terus memacu kuda besinya termasuk saya, dua orang itu, kenal atau tidak kenal dengan si empu vespa mogok, tahu atau tak tahu benar mogok atau tidak, sudah memutuskan berhenti, mendekati, dan menawarkan bantuan, adalah perbuatan baik. Maka saya bersaksi, bahwa apa yang dilakukan dua orang itu di sebuah tanjakan jalan Salatiga-Getasan pada maghrib hari sabtu 15 Oktober 2011, sungguh adalah tindakan teladan dan patut dicontoh. Mereka berdua itu adalah Saudaraku Agus Vespa (maaf saudaraku, aku lupa nama lengkapmu), dan Muhammad LuthfiKonde’ Anshori. Sungguh, saya kagum dengan mereka berdua, dan bagi saya, mereka adalah keindahan.

Selanjutnya, saya menemukan keindahan yang sungguh tak kalah luhur. Kegiatan yang diikuti mahasiswa baru dan dipanitiai oleh fungsionaris (mudah-mudahan juga aktivis) Hima Sosiologi & Antropologi masa bakti 2011-2012 ini, nyatanya juga dihadiri kakak-kakaknya yang sudah uzur, menjelang wisuda, atau bahkan sudah lulus beberapa tahun yang lalu. Meminjam pengistilahan Saudara Pambayon (maaf saudaraku, saya belum sempat mengetahui nama aslimu, atau jangan-jangan, Pambayon adalah nama aslimu?) acara ini dihadiri oleh semester unlimitted. Ini sudah menjelang tahun 2012, tapi beberapa angkatan sampai 2006, masih ada yang hadir. Itu artinya, ada 6 angkatan sampai 2011. Ya, bagi saya ini adalah keindahan. Barangkali saya patut sedikit menyesal, beberapa kakak-kakak saya (dan juga kakak-kakak engkau semua) angkatan 2005 dan 2004, batal hadir yang tentunya dikarenakan adanya halangan, selain jarak yang jauh. Saya tahu sebenarnya mereka sangat, sangat dan sangat sekali ingin hadir nengok adik-adiknya, bahkan sudah direncanakan, tapi kesempatan nyatanya belum datang ngepasi. Kepada kakak-kakak kita itu, sudah semestinya kita maklum, mereka sudah harus berkecimpung langsung dengan masyarakat, bekerja, mengajar, bahkan beberapa sudah harus bertanggungjawab kepada istrinya.

Yang saya tahu dan sedikit menebak, kakak-kakak kita yang sangat ingin hadir namun berhalangan itu adalah Mas Fendy Dwi Hardiyanto (Ketua Himpro Sos-Ant 05/06, Wonosobo, sekarang mengajar di Kendal), Mas Erik Aditia Ismaya (Angkatan 2004, Kudus), Mas Erik Dhanar Nugroho (2004, Pati), Mas Dian Setyawan (2004, Blora), Mas Deka Nur Hidayatullah (2004, Banjarnegara) Mas Akbar Wahyu Riadi (Ketua Himpro Sos-Ant 06/07, Purworejo), Mas Muntohar Mumun (2005, Demak, mari doakan beliau sukses dan berkah, sebentar lagi, mengajar di Malaysia), Mas Aji Efendi (2005, Wonosobo), Mas Alief Luthfi Pamela Sani (2005, Purbalingga), Mas Achmad Syaifudin (2005, Tuban), Mas Novrizal (2005, Kudus), Mas Nur Rokhman (2005, Kudus), Mas Rukma Deny (2005, Blora, sekarang mengajar di Palembang). Itu baru yang saya tahu. Saya yakin, masih banyak lainnya yang juga sangat ingin hadir namun berhalangan.

Namun begitu, sedikit penyesalan saya terobati dengan kehadiran saudara-saudara saya dari tempat relatif jauh, yang beberapa diantaranya sudah lulus bahkan beberapa tahun yang lalu. Mereka rela hadir di sela aktivitas padatnya, menempuh puluhan bahkan ratusan kilometer. Di sini, secara khusus saya sampaikan rasa kagum dan apresiasi tinggi kepada Saudaraku Diyan Sofiyan (Ketua Himpro Sos-Ant 07/08, Pekalongan), Saudaraku Lazuardi Fajar Nurrokhmansyah (Wakil Ketua Himpro Sos-Ant 07/08, Rembang), Saudaraku Malik Ridwan Fauzi (2006, Purbalingga, sekarang mengajar di Kendal), Saudaraku Adi Abasaki (2006, Batang, sekarang mengajar di Kendal), serta Saudaraku Agus Yuliono (2007, Kudus). Kepada mereka berlima yang saya beri cap khusus karena kekaguman saya itu, perkenankanlah satu-persatu saya uraikan letak keindahannya.

Saudaraku Diyan Sofiyan, sudah bekerja dan tidak bisa tiap waktu datang bertandang ke Semarang. Dia cuma punya waktu 2 hari untuk berlibur, sabtu dan minggu. Alangkah nikmatnya kubayangkan, jika 2 hari itu dipakainya untuk bercengkrama dengan neneknya yang terkenal galak itu. Tapi apa? Sabtu pagi yang indah itu justru nekat ia gunakan untuk berangkat ke Kopeng tilik adik-adiknya dalam PULSA, ngiras-ngirus mengobati rasa kangen kepada kawan dan saudaranya yang dulu sering kongkow bareng di Kucingan Nana Kyut, atau menikmati dingin malam di taman-taman rektorat sambil ngalor ngidul ngetan ngulon berbicara tentang apa saja, dari Ruminten sampai Qomarudin Hidayat, dari Mbak Yank sampai Reshuffle Kabinet, dari Kongres Sosiologi sampai FPI, dan dari klub motor sampai koruptor, barangkali cuma dua hal yang tidak disukainya untuk dibicarakan: Kucing dan Sepakbola. Minggu siang, ia sudah harus pulang, istirahat sejenak sesampainya di Sekaran, Selepas Maghrib ia sudah kembali tancap gas ke Pekalongan, dan senin pagi harus sudah kembali ngantor. Tidak ada kekuatan lain yang menggerakkannya menempuh ratusan kilometer kecuali kekuatan cinta, cinta kepada saudara-saudaranya keluarga besar Sosiologi dan Antropologi, dan bicara soal cinta, saya bertanya, adakah kata yang tepat untuk mengungkapkan cinta selain kata keindahan?

Semarang, Oktober 25, 2011
Saya lanjutkan catatan ini, setelah satu minggu mandeg karena saya pergi hepi-hepi dulu, makan sebanyak-banyaknya tapi tak kunjung lemu, ngopi tiap malam di Nana Kyut Cempaka bersama saudara-saudaraku Ilman Hakim, Opick Bambu (kalau kita bertemu, mari berkenalan lagi, agar saya tahu nama aslimu), serta Muhammad Ibnu Sholeh, terkadang genap dengan Agus Yuliono, sampai kalender di Oktober ini berhenti di angka 25, baru ingat, oh, saya punya catatan yang belum selesei. Hahahagh. Baiklah, saya lanjutkan.

Begitu juga dengan saudaraku Lazuardi Fajar Nurrokhmansyah, rasanya tak habis membicarakan bagaimana kontribusinya untuk Hima Sosiologi & Antropologi. Wakil ketua Himpro Sosiologi & Antropologi 2007/2008 dan BEM FIS UNNES 2008/2009 ini bahkan nyepeda motor bermil-mil dari Rembang ke Kopeng bahkan saat rasa letihnya dari Jakarta (untuk keperluan aktualisasi diri ^^) belum hilang. Kehangatan udara Rembang tidak lantas menyurutkan keinginannya untuk berdingin-dingin bahkan mengkerut di Kopeng, niliki adik-adiknya dan berjumpa kangen dengan saudara-saudaranya untuk sekedar menikmati wedang  jae, sembari mengenang udat-udut di Warung Ijo belakang FIS, yang engkau percaya atau tidak, itu dilakukan saat kuliah Etnografi oleh Pak Totok sedang berlangsung, karena kantuk menyerang mata, ijin sebentar ke belakang. Benar, belakang kampus maksudnya: Warjo (tidak untuk ditiru kecuali didampingi seorang profesional). Mengenang saat-saat seperti itu ketika raga sudah lama tak berjumpa sungguh indah, kawan. Puluhan kilometer saya yakin tak terasa baginya, demi ngrawuhi undangan adik-adiknya itu.

Tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dua saudaraku Malik Ridwan Fauzi dan Adi Abasaki. Mereka berdua sudah sangat lelah dengan aktivitas mereka sebagai pengajar (dan semoga juga pendidik) di sekolah. Hari sabtu itu, mereka masih harus berkutat dengan aktivitas mengajar di sekolah. Satu minggu sibuk dengan aktivitas di sekolah yang kita tahu bersama sangat monoton dan membosankan itu, tentu satu hari libur di hari minggu sangat berarti bagi mereka. Ya, untuk sekedar santai, atau justru mempersiapkan powerpoint untuk mengajar pekan berikutnya. Tapi engkau lihat, kawan, pulang dari sekolah di hari sabtu siang, Malik Ridwan Fauzi dari Kendal dan Adi Abasaki dari Batang justru memacu sepeda motornya mengikuti terik Pantura, padatnya Semarang-Salatiga, serta berkelok-keloknya Salatiga-Kopeng demi menghadiri undangan panitia PULSA, ingin tahu adik-adik barunya, nunggoni hajatan adik-adiknya di HIMA Sosiologi & Antropologi, dan tentu saja, demi temu kangen dengan saudara-saudara mereka dulu saat ngrungokke, ndungokke bersama kuliah Bu Lilis yang energik, Prof Mul yang setia dengan OHP-nya, Bu Heny yang kental dengan peribahasanya “hidup segan mati tak mau”, Pak Bayu yang full spirit, Pak Trisnu yang selalu memberi tugas review, serta mengingat hebohnya ulangan mid semester kala dijaga oleh Bu Nur. Ya, semua itu mereka berdua lakukan demi kecintaan dengan saudara-saudaranya, padahal senin pagi, mereka sudah harus kembali bervantofel, kembali bergelut dengan aktivitas mengajarnya. Malik Ridwan Fauzi, bahkan rela membatalkan rencananya ke Jogjakarta bersama Mas Fendy Dwi Hardiyanto demi undangan ini. Lagi-lagi, bagi saya, cuma kekuatan cinta yang bisa menggerakkan mereka.

Apa yang dilakukan saudaraku Agus Yuliono juga awesome dan hampir membuat saya mrebes mili. Dia, saudara kita itu, memang belum ‘kelar’ dan masih sering kita jumpai ‘berkeliaran’ di wilayah Sekaran. Tapi sabtu itu, ia tidak berangkat dari Semarang, melainkan dari Kudus. Ia ngebis saja sendirian dari Kota Kretek ke Sekaran, bergabung dulu dengan kawan-kawannya, baru melanjutkan perjalanan ke Kopeng. Minggu siang saat rangkaian acara PULSA belum usai, ia harus sudah pamit undur diri, karena sore hari harus sudah sampai di Semarang, lalu kembali melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Kretek yang terkenal itu, sebelum malam benar-benar larut. Karena kita tahu, di Republik kita ini, jika malam sudah semakin larut, makin susah saja mendapatkan angkutan umum, padahal penumpang tidak berkurang. Maka, penumpang yang berdiri di dalam bis, bisa saja hampir separuh dari penumpang yang duduk, uyel-uyelan. Perjalanan pulang-pergi yang sebegitunya itu, engkau semua tahu, hanya untuk menghadiri undangan adik-adiknya, memastikan semuanya baik-baik saja, yang bahkan dalam waktu tidak genap 24 jam dia harus kembali lagi ke Kudus untuk menemani ayah yang sangat dicintainya. Dia lelah, pasti. Dia letih, tentu. Tapi tetap saja dilakukannya. Padahal, apa kepentingannya? Dia bukan panitia, apalagi peserta. Tapi itulah jiwa pengembara, jiwa seorang pecinta, jiwa yang selalu rindu dengan kasih sayang dan kedamaian. Bagaimana mungkin semua itu dilakukannya jika dia, saudara kita Agus Yuliono, bukan pribadi yang indah? Dia sangat cinta dengan keluarganya, termasuk keluarga besar Sosiologi & Antropologi.

Bagi saya, kekhususan rasa kagum memang harus saya persembahkan kepada lima saudara kita itu, Diyan Sofiyan dari Pekalongan, Lazuardi Fajar Nurrokhmansyah dari Rembang, Adi Abasaki dari Batang, Malik Ridwan Fauzi dari Kendal, dan Agus Yuliono dari Kudus. Ratusan kilometer rela ditempuh di tengah aktivitas padatnya hanya untuk waktu tidak genap 24 jam menemui saudara-saudaranya. Sungguh, sungguh mereka sangat indah.

Jika mereka yang datang dari yang jauh-jauh adalah pribadi-pribadi indah, bukan berarti saudara-saudaraku yang lain yang berangkat cuma dari semarang tidak indah. Sama dengan lima saudaraku di atas, saudara-saudaraku yang berangkat bersamaku dari semarang, berkumpul di kost-kostan Muhammad Ibnu Sholeh, dan berangkat sore hari sekitar pukul setengah lima, adalah juga pribadi-pribadi indah. Mereka itu, seingat saya, terdiri dari Didi Pramono (2006), Adam Aulia Ramdan (2006), Muhammad Ibnu Sholeh (2007), Ilman Hakim (Ketua Hima Sosiologi dan Antropologi 2008/2009 dan Ketua BEM FIS UNNES 2009/2010), Opik Bambu (2007), Dwi Kudus (2007), Diaz (2007), Topan (2007), Honey Naili Rohmah yang suka rewel tapi baik hati (2007), Tiwi Kugy (2007), Murdiyanti (2007), Muhammad LuthfiKonde’ Anshori (2008), Agus Vespa (2008), AlfianBoim’ (2008), Senja (2008), Anind (2008), dan Novi (2008). Sayang, kawanku Galih Supra Poenya Fiet batal hadir meski sudah bersiap dan bahkan sudah sampai ke Ungaran, batal hadir karena satu urusan yang juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Maaf kawan-kawan, sebagian dari kalian, aku tak pernah ngerti nama aslimu. Bahkan beberapa, tak yakin benar kalian angkatan berapa (saudara tapi tak hapal betul, itu juga keindahan, keindahan yang terbata-bata. alamaaaak :). Satu lagi, tentu, tentu masih banyak sekali saudara-saudara kita yang datang niliki adik-adiknya ke Kopeng, yang juga terdiri dari banyak angkatan, tapi tidak saya sertakan disini, itu karena saking banyaknya yang tidak mampu saya ingat satu persatu dan saya catat disini.

Nama-nama diatas, bukan lagi panitia PULSA, tapi kekompakan mereka tetap terjalin, solidaritas tetap terjaga, dan keinginan Silaturahim bersama adik-adik barunya membuncah menyemangati raga, berkumpul bersama saudara-saudaranya yang sudah lebih dulu di Kopeng, nengok adik-adik yang sedang punya hajatan. Sungguh, jika ada yang bertanya bagaimana pribadi mereka, saya sendiri yang akan menjawab, mereka adalah pribadi yang sangat mencintai almamaternya, kawan-kawannya, saudara-saudaranya, dan tentu saja, mereka adalah pribadi yang penuh dengan energi positif, penuh semangat, dan penuh cinta.

Itulah, Keluarga Besar Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Kegiatan PULSA yang sebenarnya kegiatan orientasi mahasiswa baru, tidak sekedar menyasar mahasiswa baru, tapi ia bermakna lebih, ia boleh dimaknai sebagai momentum saat siapa saja, ya, siapa saja yang di dadanya berdetakkencang nama SOSANT FIS UNNES, boleh datang berkunjung, berkumpul bersama, dan saling mengkoneksikan ikatan batin sebagai Keluarga Besar Sosiologi dan Antropologi FIS UNNES. Saya tidak khawatir, jika ada yang tidak sependapat dengan pemaknaan sebagai momentum itu, karena semua bebas mamaknai, bebas berpendapat, dan bebas berpikir sepanjang tidak saling merugikan, tidak menimbulkan goresan, dan tidak memendam singgat  di hati. Begitu juga dalam berorganisasi, saudara-saudaraku di HIMA kita sekarang, berbeda itu pasti ada, tapi sungguh indah, jika sikap berbeda itu dimaknai sebagai sesuatu yang fitri, kembali lagi kepada salah satu keindahan. Tidak boleh, jika bedo-bedo (orang Pekalongan dan sekitarnya bilang: Seje) yang indah itu, malah menimbulkan perpecahan atau malah permusuhan. Jika ada yang pernah seperti itu, tidak ada jalan lain, kecuali Taubatan Nasuha ^^.

Semarang, Oktober 27, 2011
Dua hari kembali mangkrak, catatan ini kembali saya lanjutkan. Dua hari itu, saya kembali gunakan untuk hepi-hepi, kembali makan banyak tapi masih tetap belum lemu seperti Muhammad Ibnu Sholeh, kenyang makan sosis So Nice dan minum susu Real Good tapi tak kunjung hebat seperti Okto, Smash, dan Gonzales (karena tak sanggup melafalkan, oleh bapakku, Gonzales pun dilafalkan menjadi Bongsaleh), mblenger nguntal Biskuat tapi tak kunjung hebat seperti Cesch Fabregas, mandi terus memakai sabun dan bahkan kosokan watu tapi tak kunjung putih seperti Andika Pratama, sampai samponan pakai Clear tapi rambutku tidak berubah seperti punya Kim Kurniawan ataupun CR7. Alah, malah curhat! Baiklah, saya lanjutkan kembali bicara keindahan di balik PULSA.

Jreeeeeeengggggg..... Keindahan belum selesai, kawan!
Keindahan lain yang saya saksikan dan sangat saya nikmati di acara PULSA adalah alunan merdu suara seruling bambu yang keluar dari tiupan saudaraku Fajar Sumiyarso saat acara inisiasi tengah malam peralihan hari Sabtu ke Minggu saat itu. Olehnya, alat musik dari bambu yang jika saya yang meniup hanya akan berbunyi: Bbbffff... Bbbbffff... Bbbffff...., bisa mengeluarkan alunan melodi yang indah meliuk-liuk damai. Saya sering mendengar melodi indah kala Abdee Negara memetikkan gitar akustiknya, pernah mendegar Purwacaraka saat memainkan tuts-tuts piano klasiknya, pernah menikmati alunan gesekan biola Idris Sardi, sangat sering mendengarkan AkhadiKaka’ Wira Satriaji meniupkan harmonikanya pada lagu Terlalu Manis, dan cukup sering mendengarkan alunan gamelan orchestra yang dimainkan Kiai Kanjeng, tapi suara yang keluar dari tiupan Saudaraku Fajar Sumiyarso itu sungguh berbeda. Suara pada malam itu, sangat sangat sangat indah, merdu, melambai-lambai, menenangkan dan menentramkan. Bagi saya, ia adalah tipe seniman musik yang piawai, pintar, dan rendah hati.

Kau tahu, kawan? Untuk menghasilkan alunan melodi yang begitu indah hanya dari potongan bambu yang dilubangi itu tidak sekedar bermodalkan abab, sungguh, lebih dari abab, kau juga harus memainkan otakmu, dan terutama serta jelas sekali, adalah insting senimu, naluri keindahanmu. Jangan nekat hanya bermodalkan abab, jika kau tak ingin bernasib sama denganku, mencoba meniup seruling bambu, tapi yang keluar adalah bunyi bbfffff bbffff bffff yang tak jelas, hanya ada satu kejelasan dari suara itu, yaitu jelas memekakkan suara siapa saja yang mendengarnya. Barangkali, satu suara yang seimbang dengan suara itu cuma suara Giant temannya Suneo saat bernyanyi. Tolong catat pesan saya, jangan nekat hanya bermodalkan abab!. Kalau kau tak ingin bernasib sial, dihajar orang satu kampung. Apa yang diperdengarkan oleh saudaraku Fajar Sumiyarso tentu sudah melalui tempaan kawah condrodimuko, sehingga mampu mengeluarkan keindahan. Ya, KEINDAHAN. Bahkan tahukah engkau, Kawan? Mengapa Tuhan menciptakan telinga untuk kita? Ya, itu karena Tuhan ingin suatu saat kita bisa mendengarkan Fajar memainkan serulingnya! ^^. Jika ada waktu, tolong ajari saya bermain seruling bambu, Fajar Sumiyarso. Saya siap membeli seruling bambu dengan harga berapa pun dan dari mana pun. Sungguh.

Keindahan lain, yang saya alami selama di Kopeng saat itu, adalah kesempatan duduk melingkar kembali untuk berdiskusi seperti dulu bersama saudara-saudaraku seperti Diyan Sofiyan, Lazuardi Fajar Nurrokhmansyah, Malik Ridwan Fauzi, Adi Abasaki, Adam Aulia Ramdan, Didi Pramono, Ilman Hakim, Opik Bambu, dan Muhammad Ibnu Sholeh serta Agus Yuliono. Ya, kata kuncinya adalah diskusi. Mereka semua itu, bagi saya adalah orang-orang cerdas dan kritis. Di belakang batok kepala mereka tersimpan ilmu pengetahuan dan wacana yang terus mengucur tak ada habisnya. Terkadang, kami terlibat dalam perdebatan sengit, sesengit perkelahian antara Kera Sakti dan Siluman Tengkorak, atau sesengit perseteruan DP dan JP. Saya tak becanda. Benar-benar berdebat seru. Ya, di antara kami memang terkadang memiliki pandangan berbeda terkait suatu fenomena. Tapi bagi saya hal seperti itu sangat indah dan enak untuk dinikmati. Katakanlah, Diyan dan Lazuardi itu seperti lontong, Malik dan Abasaki itu seperti lombok ijo, Adam dan Didi seperti kacang, Ilman seperti kangkung, Opik seperti trasi, Ibnu seperti kubis, Agus seperti garam, dan saya sendiri manis seperti gula merah^^. Berbeda-beda bukan? Tapi jika semuanya itu diolah jadi satu dengan tidak seluruhnya diblender, bisa menjadi sajian kuliner maha dahsyat yang bernama PECEL. Enak untuk dinikmati. Biarkan saja lontongnya tetap teriris-iris kecil seperti itu, biarkan saja kangkungnya tetap terurai berai seperti itu, dan biarkan saja kubisnya tetap berbentuk seperti itu. Coba bayangkan jika semuanya itu diblender jadi satu dan berubah menjadi JUS PECEL, saya yakin, wedus pun ogah-ogahan memakannya. Begitulah kira-kira saya menggambarkan keindahan keberagaman itu. Tak perlu harus selalu sama, homo, dan seragam, apalagi dicet kuning semua. Tak perlu, karena keseragaman terkadang justru membosankan. Yakinlah. Masak pelangi harus berwarna kuning semua? Nanti dikira jas almamater UNNES malah.

Satu lagi keindahan pada acara PULSA itu, yaitu keindahan paras-paras cantik menawan mahasiswi-mahasiswi baru yang hanya satu-dua tingkat dibawah Gapaikasihsayang Yuk ^^. Mahasiswa-mahasiswa barunya? Itu bukan kapatisitas saya untuk memberi penilaian, karena saya bukan ‘pengagum pria’. Baiklah, sebenarnya masih sangat banyak sekali keindahan lain yang saya saksikan dan rasakan selama di Kopeng kemarin, tapi sengaja tidak saya sertakan dalam catatan ini, harapannya agar dilengkapi oleh saudara-saudara semua, selain karena catatan ini sudah sangat panjang mleber kesana-kemari. Terus terang, saya juga khawatir, jika saya masih memaksakan menulis yang lain sehingga menambah halaman, kawan-kawan semua akan muak, neg, mual, dan akhirnya mutah-mutah.

Jadi saya cukupkan sekian saja. Saya sampaikan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada sesuatu dari catatan ini yang njelei, salah, dan nggilani. Saya pamit menepi dulu. Salam... salam.... salam...

1 komentar:

Monggo cuap-cuap, marah marah juga boleh, asal dengan cara yang beradab. Jika tidak, anda saya tendang ^_^