Minggu, Oktober 30, 2011

#10: Keindahan di Balik PULSA

Sebuah Catatan Semi Curhatan: Ada Keindahan di Balik PULSA (Pengenalan Umum Lingkungan Sosiologi dan Antropologi)


Semarang, Oktober 18, 2011
Pertama dan yang utama, saya sampaikan selamat kepada HIMA Sosiologi dan Antropologi, FIS, UNNES, atas tergelarnya rangkaian acara PULSA yang diselenggarakan pada 15-16 Oktober 2011 bertempat di Hotel Garuda, Kopeng, Kabupaten Semarang. Tak lupa, saya pribadi, ataupun jika boleh mewakili para angkatan uzur, menyampaikan rasa terimakasih yang sangat besar kepada Saudaraku Fajar Sumiyarso selaku Ketua Hima Sosiologi dan Antropologi masa bakti 2011-2012, Saudaraku Christian Galih selaku Ketua Panitia PULSA, serta saudara-saudaraku Trio Bar (Akbar, Barozi dan Baryadi), selaku Koordinator pelaksana PULSA, atas undangan kepada para angkatan uzur, untuk ikut menghadiri, meramaikan, atau bahkan ngriwuhi. Terimakasih, terimakasih dan terimakasih. Ijinkan pula saya pribadi, atau sekali lagi jika boleh mewakili saudara-saudaraku angkatan uzur, menyampaikan permohonan maaf, jika saja terdapat sesuatu dari kami yang kurang enak di hati, di hati siapa saja, atau bahkan jika ada yang salah dari kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya.

Catatan ini, saya buat, lantaran keinginan berbagi kebahagian saja. Tak lebih. Kebahagiaan yang saya temukan di balik kegitan PULSA. Karena barangkali benar apa kata orang, bahwa sengsara itu tidak hanya ketika pribadi kita sedang terserang wabah, atau saat dirundung persoalan hidup, lebih dari itu, sengsara juga bisa berwujud kebahagiaan yang tersumbat mampat tak bisa dibagikan kepada kawan saudara. Begitulah kira-kira yang menggerakkan jemari saya hingga catatan ini lahir. Memang agak terlambat catatan ini baru muncul sekarang, sedang acara PULSA sendiri sudah dua mingguan yang lalu berlangsung. Tapi biarlah, keindahan bisa dinikmati kapan saja. Bukan begitu, kawan?

Baik, saya mulai. Terlepas dari yang khusus-khusus, secara umum kegiatan yang sasaran utamanya adalah mahasiswa baru Jurusan Sosiologi dan Antropologi ini berjalan lancar, dan juga sukses. Setidaknya itulah di mata saya, dan yang terpenting dalam catatan ini adalah bahwa di balik kegiatan yang dirancang oleh tangan-tangan kreatif para personil Hima Sosiologi dan Antropologi ini, melalui indera saya, nyatanya sangat kental dengan hal-hal membahagiakan. Ya, saya banyak menemukan keindahan dalam dua hari itu. Untuk meminimalisir missunderstanding, saya tekankan terlebih dahulu, bahwa keindahan di sini, adalah yang saya sendiri rasakan. Sederhananya, keindahan menurut saya. Karena bisa saja, indah bagi saya, tapi tak indah atau biasa saja bagi orang lain.

#9 : Hapuskan Lagu Itu!

Hapuskan Lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul. Repost from Paguyuban Sosial


Anda pasti terkejut membaca judul tulisan di atas, dengan tiga tanda seru saya tuliskan judul itu, “Hapuskan Lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul !!!”. Bagi saya sendiri, ini hal biasa. Ya, kenapa tidak? Apa lah artinya sebuah lagu? Sedangkan UU yang begitu kuat legitimasinya saja dapat dengan mudah diutak-atik mengikuti kebutuhan dan kepentingan di setiap jaman, dan mungkin saja, untuk kepentingan Udel segelintir golongan saja. Sekarang, di era millennium ini, sebuah era penuh globalisasi, dimana kita melihat relevansi atau kesesuaian lirik lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul dengan kehidupan kita saat ini? Jangan jangan ia hanya romantika, euophoria, dan isapan jempol saja? Benarkah? Apakah tidak lebih tepat jika lagu itu dihapuskan saja, atau digubah sedemikian rupa, serta diganti judulnya menjadi Kumpul nggak kumpul asal makan sesuai perkembangan waktu sekarang yang menuntut untuk kerja ekstra agar tetap bisa survive? Coba kita bayangkan bersama, jika 235an juta rakyat Indonesia menyanyikan dan menghayati semua lagu Makan Nggak Makan Asal Kumpul, bisa bisa semuanya menjadi Loyo karena tak apa-apa tak bekerja, tak apa apa tak makan, asal bisa nongkrong bareng! Pendek kata, saya menduga, pernyataan dalam judul lagu itu akan membawa kita pada kondisi yang mandeg dan selalu kalah dalam setiap kompetisi, sekali lagi, di era globalisasi ini. Inilah dugaan saya. Karena itulah, mari kita  galang persatuan untuk mendesak Slank menghapuskan lirik lagu itu.

#8 : Cerita

Repost From  Paguyuban Sosial.

Hidup ini adalah sebuah cerita, cerita yang menggembirakan, menyedihkan, haru, membanggakan dan cerita-cerita lainnya akan kita catat sepanjang kita menghela napas di dunia yang fana ini. Kita dipersilakan untuk mencicipi semuanya itu layaknya hidangan yang tersaji di depan kita semua. Namun demikian, tidak selamanya kita dapat memilih hidangan yang kita sukai, akan tetapi kita dipaksa untuk menyantap hidangan dari “Koki” yang sebenarnya kita tidak menyukainya. Ya, tidak selamanya cerita yang akan kita tulis dengan napas kita adalah cerita yang kita harapkan dan kita idamkan, namun sebuah cerita menyedihkan atau bahkan mengenaskan yang sudah ditentukan oleh Sang Maha Pengasih. Ya, Sang Maha Pengasih. Lalu, kenapa Tuhan Sang Maha Pengasih justru malah menurunkan cerita menyedihkan kepada makhluknya? Kenapa harus ada sesuatu yang buruk yang diberikan kepada kita manusia makhluk lemah yang paling mulia dibandingkan dengan binatang dan bebatuan serta jin? Kenapa tidak selamanya cerita menyenangkan saja yang diberikan kepada manusia? Kenapa tidak sesuatu yang selalu baik saja yang Tuhan turunkan untuk kita? Kenapa? Padahal katanya Tuhan itu Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang?

#7 : Belajar dan Evaluasi

Repost from Paguyuban Sosial

Belajar. Ya, belajar ! setiap orang pasti pernah belajar dan setiap orang memang perlu belajar. Karena dengan belajar orang menjadi tahu apa yang sebelumnya belum diketahui. Dulu saat kita masih kecil, kita tak pernah tahu bagaimana cara memakai baju. Setiap pagi ketika kita bersiap-siap untuk berangkat ke taman kanak-kanak, ibu kita dengan tlaten mamakaikan baju untuk kita, tidak hanya itu, ibu kita juga menyisir rambut kita agar rapi, memakaikan sepatu kita dan seterusnya dan seterusnya. Dari situlah lama kelamaan kita menjadi tahu bagaimana caranya memakai baju, menyisir rambut agar rapi, dan memakai sepatu yang benar. Contoh kecil tadi tak lain merupakan sebuah proses dalam kita mempelajari sesuatu. Dari hal-hal terkecil sampai yang besar, orang selalu belajar, belajar kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

Yang akhirnya menjadi ironis adalah orang sering kali tidak menyadari bahwa dirinya sedang belajar, apa yang akan terjadi ? yang terjadi adalah kurangnya analisis kita terhadap hal yang sedang atau baru kita kerjakan. Sebenarnya dalam setiap aktivitasnya kita selalu belajar,belajar, dan belajar lagi. Tapi apa kita menyadari itu ? kita sendiri yang tahu. Karena kita tak menyadari bahwa kita sedang belajar, akhirnya ya...itu tadi, kurangnya analisis kita terhadap aktivitas yang baru saja kita laksanakan, setelah pekerjaan selesai, ya selesai juga kita berpikir. Tak ada keberlanjutan lagi yang sebenarnya penting kita segera lakukan. Apa itu ? evaluasi !

Evaluasi akan menjadi sesuatu hal yang sangat vital jika kita sadar bahwa kita selalu belajar dalam setiap gerakan kita. Karena belajar membutuhkan evaluasi yang dijadikan sebagai media ukur sampai sejauh mana hasil belajar kita, dan juga dijadikan sabagai tolok ukur apakah target yang kita kejar dalam pekerjaan kita telah tercapai atau belum. Target, target sendiri tidak dengan sendirinya ada, melainkan dengan didahului oleh kesadaran itu tadi, kesadaran bahwa kita selalu dalam keadaan belajar. Jika kita tidak sadar, bagaimana mungkin kita pasang target ? ya ga mungkin lah, lhawong kita melakukan sebuah pekerjaan itu hanya tinggal melakukan saja, seperti air mengalir, ga ada planning yang jelas apa yang harus dilakukan.

#6 : Bermuka Dua!

Pergantian Topeng Masyarakat Jawa Pedesaan: Suatu Review "Muka Dua Desa Jawa - antara Egalitarisme dan Diferensiai". Tulisan ini adalah repost dari Paguyuban Sosial yang merupakan tugas kuliah mata kuliah Struktur Masyarakat Jawa.
Seperti pada tulisan-tulisan sejenisnya, tulisan yang merupakan terjemahan dari karya aslinya yang berbahasa Inggris, atau paling tidak ditulis oleh orang asing selalu memiliki tantangan tersendiri untuk memahaminya. Hal itu dikarenakan murni dari persoalan semantik saja. Tak terkecuali tulisan yang satu ini dengan judul “Muka Dua Desa Jawa; Egalitarisme dan Deferensiasi”. Perlu konsentrasi yang mendalam untuk dapat memahaminya.

Secara garis besar, tulisan tersebut berbicara mengenai sistem sosial beserta segenap perubahan-perubahan sosialnya yang terjadi pada kelompok sosial desa di Jawa antara kurun waktu 1920 hingga masa setelah Indonesia memperoleh kemerdekannya. Pokok pikiran penting yang saya tangkap dan saya jadikan pokok bahasan utama dalam review ini adalah perubahan sistem sosial di pedesaan Jawa, lebih tepatnya adalah perubahan karakter pertanian desa di Jawa yang membawa pengaruh pada kehidupan sosialnya. Sehingga menimbulkan suatu keadaan yang berbeda yang oleh penulis buku nya sendiri disebut sebagai bermuka dua. Namun demikian, pada dasarnya perbedaan kedua muka tersebut terjadi pada saat yang tidak bersamaan, sebagai dampak dari sistem pemerintahan yang memiliki ‘otoritas’ untuk mengendalikan masyarakat desa Jawa saat-saat itu. Oleh karena itulah, perubahan sosial –lebih tepatnya perubahan sistem pertanian- menjadi pokok pikiran penting dalam tulisan itu, dan tidak akan saya hilangkan dalam review kali ini.

#5 : Antropologi Kiai

Antropologi Kiai: Kiai sebagai Jembatan Politik dan Budaya (Sebuah Tulisan tentang Kebudayaan dan Politik). Tulisan ini adalah repost dari Paguyuban Sosial yang merupakan tugas kuliah mata kuliah Antropologi Politik.

“Kiai Muchit dari Jember. Ia seorang ulama ‘tradisional’ yang mahir berpikir ‘modern’, misalnya berbicara real politics, menjadi anggota DPRD, berhubungan dengan bupati, dan menjadi dosen di sebuah universitas setempat. Ia mungkin tipe ulama-intelek, yang komitmennya tercurah pada perjuangan meratakan pesan perbaikan moral pribadi. Ia disebut lebih realistis, lebih ade, dari intelek-ulama, yakni sarjana dalam bidang non-agama, tetapi mengajarkan agama dengan militansi yang menakutkan ber-wajah- ‘garang’. Kiai Muchit memberi pelajaran, orang harus giat menampakkan keberanian moral, termasuk melawan segenap kesalahan meskipun itu dilakukan umatnya sendiri. Implikasinya, ia pun rela dihujani caci maki umatnya. Bahkan ia diberi tuduhan buruk: membela pemerintah. Persoalannya yang melatarbelakangi adalah: saat aksi sepihak PKI dilancarkan, ia malah menentang kiai-kiai yang tidak mau menerima UU tentang pembatasan hak milik pribadi. Para kiai menyampaikan argumen bahwa dalam mazhab Syafi’i yang kita anut, tidak ada perkara pembatasa hak milik pribadi. ‘tapi, bukankah ada larangan memperoleh hak milik secara tidak halal? Dapatkan sampeyan membuktikan bahwa, misalnya, 50 hektar tanah milik petani kaya itu diperoleh dengan cara halal?’ kata Kiai Muchit. ‘bukankah si kaya merampas si miskin yang tak mampu menebus sawahnya yang tergadai?’ Orang pun marah kepadanya. Tuduhan membela pemerintah itu bukan cuma menempatkannya dalam posisi tak nyaman, melainkan juga buruk, sangat buruk, terutama dalam kurun orde baru. Di saat pemerintah memperlihatkan cengkraman kuku-kukunya yang tajam ke seluruh sektor kehidupan rakyat, dan karena itu rakyat kelihatan –hampir dalam semua hal- tak berdaya menghadapi kekuasaan yang cenderung tidak adil, membela pemerintah dianggap dosa politik yang tak berampun. Membela pemerintah dinilai lebih dari sekedar pengecut. Dalam konteks ini, Kiai Muchit memang bersedia mempertaruhkan kredibilitasnya. Ia rela kehilangan kepercayaan umatnya sendiri. Baginya, mungkin, ada sikap politik yang tak perlu dijelaskan kepada umat. Dan tebusannya mahal sekali: ia berani mengambil resiko menjadi korban umpatan massa.” 

Ilustrasi diatas saya kutip dari tulisan Gus Dur berjudul “Kiai nyentrik membela pemerintah” yang dimuat koran Tempo (5 April 1980) yang kemudian oleh sebagian orang tulisan-tulisan Gus Dur yang senada dengan itu dinamai sebagai “Antropologi Kiai”. Essai di ataslah yang akan mengantarkan saya pada pembahasan dengan tema besar ‘Kebudayaan dan Politik’ yang mulai dibahas oleh banyak Antropolog pasca 1940-an dalam bingkai ilmu Antropologi Politik yang sebagian mengambil fokus kajian pada peran para ‘perantara politik’ atau bahkan ‘makelar budaya’ yang menjembatani jurang antara ‘dunia luar’ dengan ’masyarakat tribal’, dalam konteks ini saya ambil contoh ‘Kiai’ seperti yang dikatakan Geerts dan Turmudzi, dimana kiai disini menjadi sosok pemimpin bercirikan tradisional.

#4 : Mengapa Tanah?

Mengapa Tanah? (Suatu Review Anak Jajahan Belanda)
Tulisan ini adalah repost dari Paguyuban Sosial yang merupakan tugas kuliah mata kuliah Struktur Masyarakat Jawa.
 ************


Seperti halnya Koentjaraningrat (1984) yang telah mengungkap sebuah sistem sosial yang ada dalam masyarakat Jawa –yang ditulis dalam bukunya “Kebudayaan Jawa”-, begitu juga yang dilakukan oleh Peter Boomgard yang melakukan penelitian di Jawa antara tahun 1795-1880. Buku itu kemudian diberinya judul “Anak Jajahan Belanda; Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa”

Dari buku itu, kita ditarik perhatiannya untuk melihat suatu tatanan sistem sosial masyarakat pedesaan di Jawa. Bahkan Boomgard telah menuliskan bab khusus tentang desa. Bab inilah yang hendak saya kupas. Setelah membacanya dan mengikuti diskusi bersama di kelas Struktur Sosial, paling tidak terdapat empat point penting yang akan saya tuliskan di sini. Keempat point itu adalah mengenai stratifikasi yang ada dalam masyarakat desa di Jawa, dasar yang melandasi adanaya struktur tersebut, alasan kenapa dasar-dasar itu yang bisa menjadi landasan ‘tergambarnya’ struktur di pedesaan Jawa, dan mengenai bagaimana peran-peran dari sub-sub sistem tersebut. Saya katakan struktur sosial sebagai sesuatu yang ‘tergambar’ karena pada hakikatnya struktur sosial adalah sesuatu yang tidak konkret, melainkan sesuatu yang abstrak. Ia sesuatu yang tidak bisa dilihat apalagi diraba, dan oleh karenanya, menjadi ada dan dapat dilihat oleh manusia tak lain karena direka-reka dan digambarkan bentuk dan modelnya oleh manusia. Struktur sosial sendiri dapat dikerucutkan lagi dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Kesemuanya ini adalah satu kesatuan dalam bingkai besar sistem sosial. Hanya saja, struktur sosial tidak memperlihatkan adanya hubungan timbal balik seperti yang diperlihatkan oleh sistem sosial. Akan tetapi, yang jelas bahwa sistem sosial dan struktur sosial adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

#3 : 20 Hal Tentang Saya

  1. Sangat mendambakan fisik yang sedikit gemuk, serta berambut kribo atau kriwil. Rujukan: Kaka Slank, Carles Puyol, David Luiz, Bob Marley.
  2. Pernah disangka Laduni, tak pernah belajar tapi selalu masuk tiga besar saat madrasah dulu, padahal sangkaan itu sangat keliru, karena saya gemar belajar dalam kesendirian, jadi mereka tak pernah melihat ketika saya belajar. Jadi, mereka jelas ketipu.Insomnia.
  3. Sangat kuat melek sepanjang malam tapi berbanding lurus dengan jika sudah tidur sanggup bertahan 24 jam nonstop. Ngeri.-
  4. Lebih nyaman bekerja di malam hari.
  5. Lebih menyukai wiraswasta dibanding pegawai.
  6. Sering merasa kesepian, bahkan di tengah keramaian.
  7. Gampang nggliyeng dan lemes dedes ketika melihat darah.
  8. Bisa berjam-jam lamanya saat di toko buku.
  9. Tak bisa nonton tivi tanpa remote control.
  10. Tak bisa makan tanpa didahului minum.
  11. Tak bisa merokok tanpa kopi, teh, atau minuman manis lainnya.
  12. Malas bersih-bersih.
  13. Fanatik keterlaluan dengan 5 pendekar rock n roll Indonesia: Bimo Setyawan Al-Machzumi, Akhadi Wira Satriaji, Ivan Kurniawan, Abdee Negara, dan Ridho Hafiedz yang tergabung dalam Slank.
  14. Sangat sulit menerima lagu-lagu band-band Indonesia jaman sekarang, seperti: D’Bagindaz, Armada, Hijau Daun, apalagi para para Boyband yang sebenarnya tidak ngeband semacam Smash. Kasus pada Girlband masih bisa dipertimbangkan.
  15. Sangat menggemari FC Barcelona.-
  16. Bisa langsung mutah-mutah jika makanan yang akan saya makan terdapat: telur setengah mateng dan jeroan.
  17. Relatif tertutup dan tak mudah curhat.
  18. Tidak bisa minum susu.
  19. Setiap kali tidur baik siang maupun malam sering dan bahkan hampir pasti didatangi mimpi-mimpi aneh yang ketika terbangun tidak bisa saya uraikan, yang sering malah tidak mampu saya ingat-ingat.
  20. Terakhir, entah kenapa, saya tidak begitu suka dengan kata-kata seperti: “Ayo Pong, kamu pasti bisa!”, “Semangat! Kamu pasti bisa melalui ini”, atau “Kalau kesulitan, jangan sungkan-sungkan datang kemari, siapa tahu saya bisa bantu”.

#2 : Cita-Cita



Nah....
Ini dia ni pembaca yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung...

Gambar disamping adalah proyek kartun pertama saya yang memiliki alur yang sangat mekso dan gambar yang sangat nggilani pula.. Nah, walaupun sangat jelek sekali melebihi jeleknya teman saya (baca: Malik, Diyan, dan Lazuardi) tapi saya sangat bangga sekali sama kartun kreasi saya itu.. air mata saya sampai berlinangan berkali kali karena terharu... huaaaa....

Well...memang tidak sebagus milik Gus masova dengan makhluk unyu-nya si parampaa yang sangat keren itu, tapi sekali lagi, saya selalu menangis melihat gambar disamping.. ternyata.. aku bisa... ooohhh....

Sudah pasti sodara, saya lebay dalam deskripsi di atas. tapi ya terserah saya dong ya.. masa terserah paerte.. (ora nyambung) hahaaa..
Nah, masuk ke substansinya sekarang, gambar diatas kurang lebih menceritakan kepada kita tentang cita cita.. apa itu cita cita? cita cita adalah.. hmmm. ya cita cita.. * dasar males kasih definisi.. hehe..
banyak orang hidup ga punya cita cita (udah mulai serius nih) termasuk saya yang masih pengangguran ini.. lah? tapi saya punya keinginan dan harapan kok.. uh, goblog bener ni orang! sama aja kali..
sekarang, kita tinggalkan tulisan ga penting diatas..
dan mulai menapaki kembali coretan yang lebih berkualitas. kualitas wagu nya maksudnya.

ah sudahlah, semakin lama saya semakin ngawur saja corat coretnya. kesimpulannya, saya cuma ingin becanda dengan teman teman saya dalam gambar itu saja. titik. Ga pake kuah. Iseng iseng nglatih jemari saya bermain sotosop photoshop.

sekali lagi, ternyata masih wagu juga nih blog.


Salam wagu. ala salam wagu. hula hula ala salam wagu..