Jumat, Juli 19, 2013

#12: Kenapa FPI Ditolak?

KENAPA FPI DITOLAK?

Sebuah Peringatan
Ini bukan tulisan ilmiah. Ini tulisan iseng. Kalau terdapat kesamaan nama, tempat, atau teori, itu hanyalah faktor sedikit ingatan saya saat kuliah. Tak ada rujukan sesuai kode etik ilmiah. Saya sarankan jangan dibaca. Andai anda ngotot ingin membaca, saran saya rubah, sebaiknya anda sholat istikharah terlebih dahulu minta petunjuk kepada Allah SWT. Setelah itu perbanyaklah sedekah, lalu biarkan Tuhan menunjukkan hidayah kemantaban dalam diri anda. Terimakasih.

Prolog I
"Pernahkah lo denger mafia judi? Katanya banyak uang suap polisi, tentara jadi pengawal pribadi. Apa lo tahu mafia narkoba? Keluar masuk jadi bandar di penjara, terhukum mati tapi bisa ditunda. Siapa yang tahu mafia selangkangan? Tempatnya lendir-lendir berceceran, uang jutaan bisa dapet perawan. Ada yang tahu mafia peradilan? Tangan kanan hukum dikiri pidana, dikasih uang habis perkara. Apa bener ada mafia pemilu? Entah gaptek apa manipulasi data, jual beli suara rakyat. Mau tahu nggak mafia di senayan? Kerjaannya tukang buat peraturan, bikin UUD Ujung-Ujungnya Duit. Pernah nggak denger teriakan Allahuakbar, pakai peci tapi kelakuan bar-bar? Ngerusakin bar, orang ditampar-tampar. Kacau-balau. Kacau-balau negaraku ini". (Gossip Jalanan, Slank, 2004).

Prolog II
Bentrokan FPI dengan masyarakat kembali terjadi. Kali ini terjadi kemarin hari di Kecamatan Sukorejo, Kendal, Kamis 18 Juli 2014. Bentrokan ini merupakan buntut aksi sweeping yang dilakukan FPI terhadap sebuah lokalisasi setempat sehari sebelumnya, Rabu 17 Juli 2014. Kenapa bentrokan FPI dengan masyarakat tertentu terus berulang? Kenapa terdapat penolakan terhadap keberadaan FPI?


Siapa FPI?
FPI (Front Pembela Islam) adalah salah satu organisasi massa yang oleh para anggotanya diklaim sebagai organisasi yang berupaya memperjuangkan tegaknya ketertiban di masyarakat sesuai syariat Islam yang mereka pahami. Pendakuan ini merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap aparat dan lembaga sosial lain (termasuk masyarakat luas) yang bagi mereka terlalu permisif terhadap berbagai bentuk maksiat yang melenggang di jagat kehidupan sosial dan kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Mereka kecewa, lalu mereka bertindak sendiri. Informasi lebih detail soal siapa FPI ini mendingan masbro dan mbakbro sekalian googling sendiri sajalah. Jangan manja. Hehe.

Apa dan Siapa yang Salah?
Pada titik tersebut (tepatnya titik sebelum saya menyarankan anda untuk googling), sebenarnya tidak ada yang keliru dari FPI. Kekecewaan yang mereka rasakan pada hakikatnya juga dirasakan oleh banyak pihak lain. Saya pikir kita sepakat soal banyaknya segala macam kekacauan, kebalauan (apa pula ini kebalauan?), kesemrawutan dan ketidaktertiban yang banyak terjadi pada masyarakat kita. Untuk menyingkat waktu (saya merasa bersalah menulis "menyingkat waktu"), sampai di sini anggap saja kita sepakat bahwa FPI sebenarnya punya maksud 'mulia'. Bro sekalian jangan marah dulu, ini cuma anggapan awal. Hehe. Nah, yang kemudian jadi perkara adalah banyaknya berbagai jenis penolakan masyarakat terhadap cara-cara yang dilakukan FPI dalam melakukan aksinya. Itu orang mau berbuat 'mulia' kenapa justru mengundang penolakan? Benar, ini berarti ada yang salah. Cara-cara FPI memang kontroversial, itu jelas salah. (Nggak perlu dijelaskan lagi kan kontroversialnya kenapa?). Tapi masyarakat yang cuma menolak cara mereka tanpa melakukan upaya yang lebih baik, tentu juga salah. Sistem hukum sering tak berjalan sebagaimana mestinya. Begitu juga media massa, seringkali menampilkan FPI dalam mozaik-mozaik yang terpisah dan penonton dipersilakan untuk merangkainya sendirian, yang terbentuk kemudian adalah citra FPI yang buruk, terlepas dari apakah FPI benar-benar buruk. Menurut saya begitu kalau mau fair. Apa manfaatnya cuma menghujat FPI tapi kita sendiri cuek bebek melihat segala macam bentuk kesemrawutan? Beberapa dari kita, bahkan mungkin sumber kesemrawutan itu sendiri. Saya mau bilang bahwa kita itu harus ngaca gitu lho. Hehe.

Tuhan Kok Dibela?
Ini bukan berarti saya mau membela FPI, karena memang FPI tidak perlu dibela. Mereka sudah menamai dirinya sebagai 'pembela'. Jadi ngapain membela si pembela? Saya sendiri masih suka geli sendiri dengan nama FPI. Front Pembela Islam. Selemah apa sebenarnya Islam dalam batok kepala FPI sehingga perlu dibela-bela sampai mengorbankan kemesraan sesama orang Islam? Atau bahkan sesama orang Indonesia? (Orang Indonesia, bongkar bongkar bongkar, halah!). Pemilik Islam itu kan Tuhan. Tuhan itu Maha Kuat (bagi yang percaya). Membela Islam berarti membela Pemiliknya, Yaitu Tuhan. Lalu, selemah apa sebenarnya Tuhan dalam benak FPI sehingga perlu dibela sampai bawa-bawa pentungan segala? Tuhan kok dibela? Maha Kuat kok dibela? Yang dibela adalah yang lemah, Tuhan sudah Kuat dengan Sendirinya, sehingga tak perlu dibela. Kalau Mau, tentu bukan soal sulit bagi Tuhan untuk sekedar menertibkan masyarakat Indonesia. Soal kecil bagi Tuhan. Tapi, punya kepentingan apa Tuhan mau menertibkan masyarakat yang memang senang semrawut? Nahlo. Hehe. Tuhan tidak punya kepentingan apapun, yang punya kepentingan itu kan manusia. Jangan ngaco berpikir Tuhan bakal galau gara-gara hamba-hambaNya semrawut. Tidak disembahpun Tuhan tetap Cool. Karena Tuhan sudah Maha Agung dengan Sendirinya, keagunganNya tak perlu dibantu manusia! Tapi, dalam pekatnya malam, kadang saya juga berpikir, jangan-jangan Tuhan memang sengaja nyuekin Indonesia biar orang-orangnya mau berpikir. Derita kok rasa-rasanya tiada akhir dan tanpa batas, seperti kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hehehe. Namun, saya sangat percaya banyak orang Indonesia yang mahir berpikir dengan akal warasnya. Bukan apa-apa, saya tak mau ambil resiko digebuki banyak orang karena mengatakan sebaliknya. Hehe. Tapi saya juga percaya banyak juga yang masih menggunakan dengkulnya untuk berpikir. Eh! Sampai di sini, kesimpulannya adalah: tulisan ini banyak ngaconya. Hehehe.

Masih jam 01.52 WIB. Warung samping kos belum sediakan sahur. Baik, saya lanjutkan prasasti ini. Hehe.

Ada Apa dengan FPI? : Sebuah Perspektif Ilmu Sosial
Alasan kenapa FPI ditolak sudah banyak ditulis. Rata-rata berkutat pada argumentasi arogansi mereka dalam melakukan aksinya, baik dari sudut pandang hukum dan kriminal, HAM (bukan HAMburger), demokrasi, maupun hukum Islam itu sendiri yang tidak membenarkan penggunaan cara-cara represif nan koersif dalam mencapai tujuan. Kalau kata utadz saya, istilahnya Islam rahmatan lil'alamin: kasih sayang untuk alam semesta raya. Tapi, pembahasan FPI dari kacamata teori sosial belum banyak ditulis. Saya deg-degan nih, sepertinya sudah mulai mau berbau sedikit 'ilmiah'. Hehe. Dalam perspektif teori sosial, fenomena paket FPI bonus pentungannya itu setidaknya bisa dikaji dari Teori Relasi Kuasa dan Pengetahuan. Maksudnya terdapat hubungan yang tak terpisahkan antara pengetahuan dengan kekuasaan. Lengket kaya perangko, Bro! Tokoh dari teori ini namanya Michel Foucault. Doi ilmuwan Perancis yang konon katanya gay, matinya aja gara-gara HIV/AIDS. Kasihan ya, Bro! Tapi, meski demikian, doi orangnya pintar banget. Doi adalah salah satu ilmuwan dalam khazanah ilmu sosial jaman modern yang karya-karyanya banyak menjadi rujukan sampai sekarang. Dalam salah satu kitab karangannya yang berjudul "Reward and Punishment" Mpu Foucault ini bilang yang intinya terdapat mekanisme penaklukan terhadap sesuatu dengan menggunakan ajian yang bernama pengetahuan. Maksudnya, kalau ingin menguasai sesuatu, maka harus punya pengetahuan. Nah, term pengetahuan di sini adalah pengetahuan yang diproduksi oleh orang yang mau berkuasa itu. Goblokannya pengetahuan ala orang itu sendiri. Bukan pengetahuan atau kebenaran universal yang datang dari langit, maksudnya kebenaran sejati dari Tuhan gitu lho. Kekuasaan seseorang lahir sejalan dengan pengetahuan yang dimiliki. Siapa yang pintar, dia yang bisa berkuasa. Sebaliknya, pengetahuan itu sendiri diproduksi oleh kekuasaan yang sedang bertakhta. Begitulah hubungan timbal-baliknya. Ini sedikit berbeda dengan pandangan Marxian yang menekankan kekuasaan pada kepemilikan modal pada kelas-kelas sosial tertentu. Bagi Marxian, siapa yang kaya, dia yang berkuasa. Bagi Mpu Foucault, kekuasaan bukanlah kepemilikan (seperti kepemilikan modal), melainkan diartikan sebagai sebuah proses atau mekanisme penaklukan yang digerakkan oleh wacana-wacana atau pengetahuan itu tadi. Mau berkuasa? Harus pintar! Orang pintar akan meminum dan mereguk kekuasaan. Tapi kalau mau bejo? Minum..... *tiiiiit!*. Sensor! Nah, gimana Bro? Sudah pusing belum baca paragraf di atas? Apa? Belum? Bagus! Berarti saya boleh lanjut ya, Bro! Hehehe.

FPI: Antara Pengetahuan dan Kekuasaan
Memang agak rumit ya Bro kalau ngomongin teori, saya sendiri ngetik sambil memiringkan kepala biar nggak pusing. Ngetik sambil miring-miring itu mencegah otak kita jadi miring. Sebelum otak miring, kepala kita miringkan terlebih dahulu, nanti kan otaknya merasa tersindir, nggak jadi miring otak kita! Kalau nggak percaya, coba sendiri! Hihihi. Nah, saya lanjutkan ya, Bro! Hehe. Teori Relasi dan Kekuasaan yang telah berhasil memiringkan kepala saya itu bisa dipakai untuk mengkaji fenomena paket FPI dan pentungannya. FPI berupaya mewujudkan suatu 'kekuasaan' dengan cara menaklukkan masyarakat dengan sederetan nilai dan norma sosialnya. Pengupayaan kekuasaan itu digerakkan oleh produksi pengetahuan yang mereka pahami. Dalam konteks FPI ini, wujud pengetahuan mereka adalah perintah-perintah agama Islam sesuai pemahaman mereka mengenai kewajiban hamba Tuhan untuk amar makruf nahi munkar: menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran atau kemaksiatan. Dalam syariat Islam, terminologi 'wajib' didefinisikan sebagai sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, sebaliknya dosa dan ancaman api neraka akan menjadi ganjaran apabila sesuatu tersebut ditinggalkan. Kemunkaran dan kemaksiatan adalah hal yang dibenci oleh Tuhan dan karenanya harus dicegah dan diberantas. Sembari mencegah kebatilan, kebaikan harus diserukan. Dalam praktiknya, FPI kemudian mengimplementasikan pengetahuan itu dengan menggelar sederetan aksi. Bagi FPI, kemaksiatan dalam masyarakat adalah sampah yang harus disapu bersih, dengan cara apapun. Aksi demi aksi dilancarkan FPI untuk menegakkan kekuasaan mereka sebagai manifestasi atau perwujudan kekuasaan Tuhan. Laskar FPI bagi mereka sendiri sama dengan menjadi pasukan-pasukan Tuhan yang berupaya menegakkan tegaknya syariat agama, sesuai perintah Tuhan. Nahlho, ini kenapa tulisan jadi njomplang begini ya? Dari awal cengengesan, sekarang sok serius begini? Hihihi. Biarlah, orang saya yang nulis, suka-suka saya dong. Hehe.

Mekanisme Pendisiplinan: Sebuah Perebutan Kekuasaan
Sampai di sini, pertanyaan yang muncul adalah: apakah 'kekuasaan' FPI telah bertakhta dengah manis? Jawabanya tidak, atau setidaknya belum. Hal ini dibuktikan dengan adanya penolakan terhadap mereka. Sejatinya, dalam Teori Relasi Kuasa dan Pengetahuan, Mpu Foucault hendak membuktikan bahwa seseorang atau pihak tertentu bisa secara 'alamiah' berkuasa karena memiliki sederetan wacana atau pengetahuan yang kemudian diturunkan kepada pihak lain agar pihak tersebut berada dalam bayang-bayang kekuasaan pihak pertama. Untuk itu diperlukan sebuah strategi agar pengetahuan "calon penguasa" dapat diterima oleh si "calon yang dikuasai". Untuk itulah, Teori Relasi Kuasa dan Pengetahuan menawarkan strategi yang dinamakan "mekanisme pendisiplinan". Pihak yang hendak dikuasai harus ditempa dalam untaian-untaian pendisiplinan. Masyarakat harus didisiplinkan. Dalam perspektif teori ini, tubuh manusia dipandang sebagai sesuatu yang dapat ditaklukkan, dimanipulasi, dan disiplinkan dengan mekanisme 'halus' agar tubuh-tubuh manusia tersebut menyerah pada kekuasaan. Melalui upaya pendisiplinan itulah pengetahuan dan wacana-wacana diproduksikan. Dalam konteks FPI, aksi-aksi (misalnya sweeping) dapat dipandang sebagai upaya pendisiplinan itu. Bagi FPI, masyarakat harus didisiplinkan agar dapat menerima pengetahuan yang mereka yakini, yaitu amar makruf nahi munkar itu tadi. Lalu kenapa masyarakat melawan? Mekanisme pendisiplinan menjadi kuncinya. Bagi Mpu Foucault, upaya pendisiplinan itu harus berjalan secara halus, sehingga tubuh yang hendak ditaklukkan tidak merasa ditaklukkan (bagi para Masbro dan Mbakbro yang terbiasa menekuni dunia teori sosial, mekanisme ini mirip dengan Teori Hegemoninya Kiai Gramsci, hanya saja teori hegemoni tidak menekankan pada adanya relasi yang kuat antara kuasa dan pengetahuan). Mpu Foucault menunjukkan bahwa penaklukkan tubuh-tubuh manusia dengan menggunakan metode kekerasan fisik tidak akan pernah menemui sasarannya, sebaliknya tubuh-tubuh tersebut justru akan berontak, melawan, dan menyimpan dendam. Namun demikian, bagi Mpu Foucault, cara halus tersebut bukan berarti tubuh manusia telah diperlakukan secara manusiawi. Cara halus tersebut hanyalah strategi lain yang tujuannya tetap sama dan klasik: penaklukkan!
Upaya pendisiplinan secara halus itulah yang tidak menonjol dari aksi-aksi FPI, sehingga yang terjadi adalah adanya perlawanan, penolakan, bahkan dendam dari publik, terutama mereka yang bersentuhan secara langsung dengan aksi-aksi FPI. Penolakan tersebut juga menyiratkan kepada kita tentang adanya pertarungan kekuasaan antara FPI dengan masyarakat yang terdiri dari banyak elemen. Jangan lupakan pula peran media massa dalam hal ini. Saya berani jamin, kebanyakan dari kita mengetahui FPI dari media massa. Sayangnya, media massa terkesan hanya memperlihatkan sisi gelap FPI tanpa diimbangi sisi terangnya. Saya sendiri tak berani menjamin bahwa FPI tak memiliki sisi terang. Pada titik ini, pemahaman kita soal FPI memang lebih banyak dibentuk oleh citra-citra melalui media massa. Citra hanyalah copy bukan asli. Representasi bukan realita. Terlepas dari bagaimana sejatinya FPI secara keseluruhan, citra 'preman'-lah yang terlanjur terserap oleh publik. Pengetahuan FPI beserta aksi-aksinya, pada praktiknya kemudian banyak bertentangan dengan Pengetahuan pihak lain. Hal ini disebabkan masyarakat memiliki struktur pengetahuannya sendiri. Pengetahuan dan wacana masyarakat telah terbentuk diluar upaya pendisiplinan yang dilakukan oleh FPI. FPI, dalam hal ini tidak terlibat konsensus pengetahuan dengan masyarakat banyak. Dalam pandangan Mpu Foucault, pada hakikatnya setiap orang bisa saja memproduksi pengetahuannya sendiri, karena sekali lagi: pengetahuan / kebenaran di sini bukan berarti pengetahuan universal yang datangnya dari Tuhan. Adanya perbedaan pengetahuan, wacana, dan pemahaman-pemahaman ini mengakibatkan FPI seringkali berada dalam posisi berlawanan dan berhadap-hadapan dengan masyarakat yang secara langsung bersinggunggan. Perbedaan pengetahuan tersebut pada gilirannya mengakibatkan munculnya pertarungan dan perebutan kekuasaan dalam masyarakat. Apakah pada akhirnya FPI akan menang? Tidak akan ada pemenang sejati, yang ada adalah penaklukkan! Andai penaklukkan itu menggunakan upaya ekspansi yang represif dan koersif, maka seterusnya akan berkobar api kebencian yang terus berputar tak berujung! Gimana, bro? Sudah bagus kan akting serius saya? Hehehe. (sudah berapa kali ini saya heha hehe heha hehe dari tadi? Ada yang menghitung?) hehehe.

Epilog
Alhamdulillah.. Akhirnya sampai juga ya bro kita di dermaga ini, di penghujung acara! Hehe. Di sini, sudah saatnya kita melihat fenomena FPI ini secara lebih jernih. FPI tidak bisa disalahkan sendirian. FPI harus didudukkan sebagai simpul yang saling terkait dengan struktur masyarakat lainnya. Bagaimanapun, FPI hanyalah satu elemen dari sistem masyarakat Indonesia yang besar. Sistem itu satu kesatuan. Artinya, setiap elemen dalam sistem pastilah saling terkait satu sama lain. Munculnya Fenomena FPI pastilah terkait dengan kenyataan tentang banyaknya beragam jenis kemunkaran. Banyaknya kemunkaran pastilah berkaitan dengan pengendalian sosial pada masyarakat yang masih lemah. Lemahnya pengendalian sosial pastilah terkait dengan lembaga-lembaga sosial, politik, ekonomi, hukum, dan agama yang tidak berfungsi dengan baik. Tidak berfungsinya dengan baik lembaga-lembaga tersebut pastilah terkait dengan SDM yang mutunya masih kurang tinggi. Kurang tingginya SDM pastilah terkait dengan faktor pendidikan dan ekonomi negeri yang dari dulu menyandang gelar negara berkembang terus-menerus ini. Entah kapan Indonesia berhenti disebut berkembang. Berkembang kok tak ada batasnya. Tidak terbatasnya kita disebut negara berkembang ini pastilah terkait dengan kalahnya kita dalam pertarungan dan perebutan kekuasaan di jagat raya. Begitu seterusnya. Silakan Bro sekalian teruskan sendiri. Yang harus dicatat, jangan sampai berujung pada kesimpulan bahwa ini semua adalah takdir Tuhan, maksudnya Tuhan yang salah? Gitu? Istighfar bro! Takutlah dengan murka-Nya! Hehe. Saya hendak mengatakan bahwa memang ada yang salah dengan masyarakat ini. Tapi, daripada sibuk saling menyalahkan, alangkah baiknya kita saling bercermin. Jangan-jangan, beberapa sumber kesemrawutan masyarakat yang tengah sakit ini berada dalam diri kita? Jangan-jangan, ketidakpedulian kita akan sesama ini adalah salah satu faktor penambah rasa sakit masyarakat kita yang sedang terkulai lemas itu? Jangan-jangan. Jangan! Jangan!

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo cuap-cuap, marah marah juga boleh, asal dengan cara yang beradab. Jika tidak, anda saya tendang ^_^