Minggu, Juli 14, 2013

#11: Komodifikasi Ramadhan

Pada sebuah siang yang terik panasnya sanggup membuat sekujur badan berleleran keringat di sana-sini, dengan leleran keringat sebesar biji jagung pula (hal yang tidak akan terjadi andai ruangan anda terpasang mesin AC), saya menemui televisi di kamar saya sedang menayangkan sebuah iklan sirup. Iklan berdurasi singkat itu dalam sekejap mampu menggerakkan imajinasi saya, "pasti segar sekali mereguk sirup rasa jeruk itu panas-panas begini, apalagi kalau pakai es, dingin di kerongkongan, ah.. nikmatnya!", kata batin saya. Iklan sirup itu, sialnya terus diulang-ulang dalam jenjang waktu yang amatt singkat. Belum membuyar imajinasi soal es sirup jeruk itu, meski televisi sudah berganti menayangkan iklan yang lain (terkadang masih iklan yang sama, tapi beda merk), lahdalah, lha kok televisinya mbalik menayangkan iklan sirup itu lagi. Efeknya dahsyat, pada momen itu, isi kepala saya benar-benar cuma berisi soal sirup dingin. Sialnya, dan ini harus anda ketahui, siang hari yang saya maksudkan terjadi saat bulan Ramadhan, saatnya orang Islam menunaikan ibadah puasa. Tak perlu ditanya lagi bagaimana pergulatan batin yang saya alami saat melihat parade iklan sirup itu. Tapi jangan buru-buru berharap alur tulisan ini akan menuju pada tragedi batalnya puasa karena saya lalu segera membeli dan meminum es sirup itu. Meski pernah sengaja membatalkan puasa karena haus dan / atau lapar, prosentasenya masih sangat kecil dibanding tahannya saya terhadap 'godaan' itu. Sejak kecil saya sudah berlatih puasa. "Enak saja mau terus-terusan batal puasa cuma gara-gara iklan sirup sialan itu!", kata hati saya penuh perjuangan. "Fighting! Struggle like a hero!", teriak saya kencang-kencang seraya mengangkat tangan kanan yang menggenggam.

Akan tetapi, cerita patriotik itu ternyata cuma berujung pada penundaan. Hanya soal waktu saja untuk benar-benar bisa menenggak es sirup itu sepuas saya mau. Kapan? Tentu saja sesaat setelah adzan maghrib berkumandang. Di televisi, rating program acara adzan maghrib mendadak melonjak tajam dan menjadi primadona bagi kebanyakan masyarakat negeri yang konon memiliki umat Islam terbesar di dunia ini. Yang terjadi, ketebalan iman orang seperti saya ini ternyata cuma sebatas mampu menahan godaan iklan sirup sampai waktu diperbolehkannya saya berbuka (Walaupun sebenarnya sejalan dengan iklan sirup itu, yaitu menikmati 'kesegaran'-nya saat berbuka puasa). Maka, IQ yang terjongkok sekalipun sudah dapat membayangkan bagaimana kalapnya saya menghadapi maghrib. Seakan lupa bahwa perut ini sifatnya kuota dan bukan unlimited, apapun saya masukkan. "Hahaha.. Kini saatnya balas dendam!", begitu kira-kira saya membatin. Maka, acara buka puasa itu benar-benar akan membabi-buta. Hebatnya lagi, iklan sirup itu tidak hanya berhasil membuat saya ingin meminumnya, tapi juga sukses mendorong saya untuk mempercayai sejenis 'kesegaran' tiada tara yang diperlihatkan melalui visualisasi yang menggiurkan. Maka, yang kemudian saya imani tidak hanya 'kesegaran' sirup itu, tapi sampai pada spektrum yang lebih luas lagi, yaitu 'kesegaran' yang ditawarkan oleh beragam produk-produk industri yang terserak bertebaran dan berseliweran di televisi. Saya dipaksa percaya bahwa hanya produk-produk yang diiklankan televisi itulah yang bisa memberikan jaminan 'kesegaran' melebihi apa yang bisa saya bayangkan sendiri. Sirup jeruk di iklan televisi itu hanya provokator saja ternyata, dan sialnya kena juga saya dengan provokasi itu. Lalu inilah kronologi berikutnya, saya begitu ingin memasuki minimarket-minimarket yang kini sudah banyak bertebaran di gang tikus sekalipun, untuk membeli apa saja yang telah terlanjur saya yakini dapat memberikan jaminan 'kesegaran'. Tidak hanya ingin, namun benar-benar saya lakukan. "Untuk persiapan buka puasa", niat saya yang tampaknya mulia.

Lalu, bayangan kekalapan menghadapi maghrib itu pada akhirnya tidak lagi bernama bayangan, namun benar-benar terjadi, belanjaan dari minimarket sebagai perwujudan keyakinan akan 'kesegaran' itu akan sekuat upaya coba dipaksa-paksakan harus bisa dinikmati oleh tenggorokan yang kering. Padahal, 'kesegaran' itu tidak berhenti di kerongkongan, tapi akan bermuara sampai ke perut. Ujung-ujungnya bisa diprediksi, perut akan berontak, lalu membalas saya dengan memberi rasa tak nyaman. Segar di tenggorokan tapi merana di perut, pasti bukan 'kesegaran' namanya. Betul. Saya menjadi sulit bergerak dan bernafas, yang kemudian mempengaruhi saya untuk malas tadarrus, apalagi rangkaian sholat isya', tarawih dan witir yang roka'atnya seabrek itu. Alamak.

Akan tetapi, pada ruang dan waktu yang lain, bisa saja prediksi kalapnya menghadapi maghrib itu ternyata meleset dan membuat kecele. Saya sering mengalaminya. Berbagai merk yang oleh televisi 'diamanatkan' dan 'diperintahkan' untuk dibeli itu telah benar-benar terbeli dan saya maksudkan untuk 'balas dendam'. Sambil deg-degan dan senyum berseri-seri saya siapkan semuanya menjelang maghrib. Lalu, ini point kecelenya: jangankan kok kalap menghabiskan semuanya, bahkan baru minum sedikit saja rasanya perut sudah full. Sialan! Bayangan parade 'kesegaran' tak terhingga sesuai yang diiklankan televisi itu ternyata sekedar ilusi dan tak terbukti. Pada faktanya, perut tetaplah memiliki kuota terbatas yang tetap akan memberi perlawanan kalau ia dipaksa terus dijejali apa saja. Sampai titik ini, saya sempat terdiam dan membatin, "ternyata ini semua hanya soal halusinasi dan kerakusan".

Ilustrasi di atas sudah dapat diakhiri. Saya beranggapan telah menyiratkan apa yang saya tuliskan di judul. Saya juga memberi kebebasan kepada anda untuk menafsirkan kata ganti 'saya' pada ilustrasi di atas, apakah anda tafsirkan sebagai saya penulis, ataukah saya sebagai cerminan orang banyak. Silakan. Ohya? Apakah banyak orang mengalami hal seperti yang 'saya' alami di ilustrasi tersebut? Silakan refleksikan pada masing-masing dari kita. Terkait ilustrasi di atas, saya memang menulis dengan gaya yang cukup hiperbolis dan ekstrem. Karena itulah upaya saya untuk menggambarkan betapa 'saya' ini sanggup bersikap sampai seekstrem itu, berlebih-lebihan dalam banyak hal. Padahal, yang saya sebut sebagai ekstrem dan berlebih-lebihan itu ternyata terbukti hanya sekedar perkara ilusi, halusinasi, kerakusan, dan pesona kotak ajaib televisi saja, pesonanya dalam menumbuhkan dan menyebarkan beragam nilai-nilai baru yang secara perlahan akan menjadi 'keyakinan' baru. Televisi itu sekedar menayangkan, mau menayangkan karena mendapat uang dari yang meminta menayangkan, ialah industri-indistri berbagai merk yang butuh produknya dikenal luas secara permanen. Agar apa? Tentu saja agar dagangannya laku. Soal berdagang. Sesederhana itu.

Lepas dari itu semua, bulan Ramadhan adalah pasar yang strategis. Ramadhan menjadi pasar yang tiba-tiba lebih sesak dari biasanya dengan aneka dagangan yang memanfaatkan citra Ramadhan dan juga lebaran. Inilah komodifikasi Ramadhan itu, yaitu proses menjadikan Ramadhan yang sejatinya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi yang bertujuan memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Citra Ramadhan, citra shodaqoh, citra kesegaran, citra ibadah, citra kemuliaan, citra kemenangan, citra penuh berkah, dan citra-citra yang lain terus diproduksi oleh koalisi industri dan televisi untuk kemudian dipertukarkan dengan uang. Perhatikanlah berbagai iklan-iklan saat Ramadhan. Berbagai citra itu digambarkan dengan visualisasi yang meyakinkan, beberapa bahkan sangat 'manusiawi' dengan menampilkan kisah yang menyentuh. Iklan lain dibuat secara bersambung yang memancing rasa ingin tahu penonton. Bahkan ada juga iklan dengan kisah menyentuh yang bersambung, lalu meminta penonton untuk memberikan versi lanjutannya dengan mengikuti program acara mereka. Semua iklan menggunakan topik Ramadhan, atau setidaknya yang berkaitan dengan Ramadhan. Semua strategi iklan terus diulang-ulang setiap harinya, membuat merk-merk itu terus berdengung di telinga dan tersimpan dengan baik di memori penonton. Bulan Ramadhan mendadak dijadikan komoditas yang menggiurkan bagi para pelaku usaha. Tentu saja bukan benar-benar bulan Ramadhan yang diperdagangkan, melainkan citra-citra Ramadhan. Karena mustahil memperdagangkan bulan. Disebut sebagai citra Ramadhan karena apa yang ditampilkan pada iklan-iklan itu sejatinya bukanlah kemuliaan Ramadhan, melainkan kemuliaan uang melalui momentum Ramadhan. Tanpa iklan-iklan itu, kemuliaan Ramadhan sudah dijamin oleh agama, itupun andai kita meyakininya. Sedangkan iklan-iklan itu, nyatanya hanya menawarkan kemuliaan Ramadhan dengan tendensi keuntungan yang dapat mereka hasilkan.

Nah, hari sudah mulai siang, lumayan panas, dan: sial! Bayangan kesegaran sirup dingin itu datang lagi! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo cuap-cuap, marah marah juga boleh, asal dengan cara yang beradab. Jika tidak, anda saya tendang ^_^